Kota Metro"polusi dan becek", I'll remember you as my experience

Posted by Ayhu Yusmar On Monday, November 28, 2011 0 comments

Kota besar, panas, terik, becekpun tak ketinggalan. Jalan sempit yang terbuat pavin blok rusak sana sini. Jalan ini cuma bisa dilewati 1 kendaraan roda empat saja, kalau nekad berdampingan.. jadinya "MALITE" (macet gak elite) hehehe.
Sudah hampir 4 tahun saya melalui jalan ini setiap ke kampus... (dengan catatan, saya ke kampusnya sering jalan kaki)  (^’.’^) . Selama itupun saya tidak pernah melihat perubahan yang berarti. Sebagai mahasiswi yang juga sebagai pengguna jalan ini cukup miris melihat potret kota yang di luar daerah sana dikatakan kota metropolitan. Saya sering berdiskusi dengan teman kelas saya yang juga kost nya searah dengan kost tempat tinggalku. Jadi kami sering bersama. Bayangkan! Jalan yang kami lalui setiap ke kampus adalah sekitar 500 meter. Dan 250 meter dari jalan itu bisa di bilang cacat. Bagaimana tidak, dalam keadaan terik pun di sisi kanan dan kiri badan jalan itu di tutupi air. Air yang tergenang, kecoklatan, dan sumbernya pun dari parit yang tepat berada di sisi jalan tadi. Itu dalam kondisi terik, nah bisa di bayangkan jika musim hujan tiba.
Saat masih semester awal, saya pernah rasakan sebuah pengalaman yang belum pernah saya temui. Bulan itu kebetulan adalah saat musim penghujan. ¾ jalan yang saya lalui tertutupi air setinggi lutut. Sedangkan pagi itu saya masuk pada pukul 08.00. Sedangkan saya mengenakan kemeja dan rok, sesuai dengan aturan jurusanku. Jika dihitung-hitung, waktu yang saya butuhkan untuk menempuh jalan itu adalah sekitar 5-10 menit. Tapi, saat itu terjadi, saya menempuh jalan itu sekitar 30 menit. Dengan menggunakan pakaian lengkap, rok di gulung ke atas, sepatu berganti sendal dan disimpan di tas, sedang tangan satu harus memegang payung. Bagaimana dengan mereka yang tidak menyediakan payung? Sedangkan kami yang menggunakan payung saja sudah basah kuyup. Belum lagi kalau mobil-mobil mewah juga antri lewat di jalan ini. Secara otomatis, kami para pejalan kaki juga harus mengalah. Tapi, yang sering buat sakit hati adalah si pengendara mobil yang di beri jalan langsung tancap gas, akibatnya, air yang membanjir membasahi sebagian badan kami. Gimana mau masuk kelas dengan keadaan basah kuyup. Kadang kami juga kepepet untuk terpaksa menggunakan jasa bentor atau becak. Tapi, merekapun tidak berani untuk melalui jalan itu kalau dalam keadaan banjir. Alasannya, karena katanya jalan itu susah dilalui karena selain rusak, juga tidak terlihat batas jalan dan paritnya. Katanya takut terjatuh. Dan karena itulah, kami mengambil jalur alternatif, tentunya dengan bayar lebih dari harga normal. Ya daripada terlambat, atau kebanjiran.
Kalau masalah basah kuyup dengan air sih tidak masalah. Tapi yang bermasalah adalah sampah-sampah yang ikut dengan air itu adalah sampah-sampah yang berbulan-bulan tidak pernah diangkat atau dibersihkan dari parit. Menjijikkan tentunya, kuman, kotoran mungkin, bersatu dalam keadaan itu.
Terkadang, saya dan teman saya berdiskusi tentang jalan ini. Melihat rumah-rumah warga yang berada disekitarnya, bisa dibilang adalah keluarga-keluarga mampu. Tapi sepertinya keegoisan itu masih kental. Aku ya aku, kamu ya kamu. Tidak ada inisiatif sedikitpun dari warga sekitar untuk memperbaikinya. Selalu bahkan sering dilalui, tapi tak ada perhatian akan keadaannya. Mungkin bagi para pengendara mobil ataupun motor mudah saja melaluinya. Tapi bagi para pejalan kaki, tentu sangat sulit. Mesti selalu menghindari setiap genangan air yang ada.
Saya selalu berfikir, apa tidak ada satu orang pun yang mau bersuka rela mengingatkan untuk bekerja sama mencari dana untuk perbaikan jalan itu. Kalau ada dana, dan mulai diperbaiki saya juga mau ikut membantu. Tapi, saya tidak tahu apa-apa tentang kota ini. Saya tidak tahu harus bergerak dan melapor kemana.
Tapi yang jelas kenangan akan jalan ini akan berbekas dalam ingatan. Jalan yang menemani langkah-langkah kecilku dalam meniti masa depanku. Jalan yang menjadi saksi setiap jejak-jejakku yang berbekas di jalan berbecek. Jalan yang tahu cerita-cerita yang sering mengiringi langkahku saat ke kampus atau pun pulang ke kost. Cerita yang kuuraikan saat aku lelah sepulang kampus di waktu senja, cerita yang kuuraikan saat aku marah kepada sahabatku, cerita yang kuraikan saat aku kecewa dengan dosenku, cerita yang kuuraikan saat aku senang karena melihat seseorang yang ku idolakan dan ku kagumi di kampus, cerita yang kuuraikan saat ku melihat sepasang muda-mudi yang melintas di depanku, serta cerita tentang tugas-tugas kuliah menumpuk yang menunggu. Itulah nasib seorang anak perantau, yang menuntut ilmu di kota orang. Akan ada napak tilas yang kan terjadi saat aku sukses di masa depan.
See u...
By. Yukari Fukumitsu


0 comments:

Post a Comment